Minggu, 15 April 2012

PENGETIAN KETERAMPILAN MENULIS UNTUK SEKOLAH DASAR


MENULIS

HAKIKAT MENULIS
Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menurut Rusyana (1988:191) menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986:21). Kedua pendapat tersebut sama-sama mengacu kepada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambang-lambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan penulis.
Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Keduanya saling melengkapi. Costa (1985:103) mengemukakan bahwa menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Dan, melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis.
Mengemukakan gagasan secara tertulis tidaklah mudah. Di samping dituntut kemampuan berpikir yang memadai, juga dituntut berbagai aspek terkait lainnya. Misalnya penguasaan materi tulisan, pengetahuan bahasa tulis, motivasi yang kuat, dan lain-lain. Paling tidak menurut Harris (1977:68) seorang penulis harus menguasai lima komponen tulisan, yaitu: isi (materi) tulisan, organisasi tulisan, kebahasaan (kaidah bahas tulis), gaya penulisan, dan mekanisme tulisan. Kegagalan dalam salah satu komponen dapat mengakibatkan gangguan dalam menuangkan ide secara tertulis.
Mengacu kepada pemikiran di atas, jelaslah bahwa menulis bukan hanya sekedar menuliskan apa yang diucapkan (membahasatuliskan bahasa lisan), tetapi merupakan suatu kegiatan yang terorganisir sedemikian rupa sehingga terjadi suatu tindak komunikasi (antara penulis dengan pembaca). Bila apa yang dimaksudkan oleh penulis sama dengan yang diamaksudkan oleh pembaca, maka seseorang dapat dikatakan telah terampil menulis.
MENULIS CERITA PENDEK
Siapa yang tidak bangga jika cerpennya dimuat di majalah Kawanku, Gadis, Hai, atau mungkin di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Kompas? Kiranya tidak ada yang tidak senang. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh mulai dari diberi ucapan selamat dari teman-temannya, diberi predikat baru sebagai “sastrawan”, mendapat honorarium, dan mungkin guru Bahasa Indonesianya memberikan “bonus” nilai.

Kemampuan menulis karya sastra pada satu sisi diyakini sebagai sebuah bakat yang nota bene dibawa seseorang sejak lahir, namun pada sisi lain diyakini sebagai sebuah hasil belajar. Dari berbagai sharing pengalaman dari orang-orang yang sudah menghasilkan karya sastra, sebagian besar di antaranya mengatakan bahwa kemampuan mereka lebih banyak ditentukan oleh latihan, latihan, dan latihan. Kalau dibuat perbandingan, factor bakat hanya memberikan kontribusi 10-15%, sedangkan selebihnya adalah factor belajar dan latihan. Tuntutan yang diberikan oleh kurikulum untuk siswa SMA sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun, tidak ada salahnya jika kemampuan menulis cerpen yang akan dipelajari ini dapat memberikan bekal hidup di kelak kemudian hari. Artinya, siapa tahu dengan sungguh-sungguh belajar menulis cerpen, ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, para siswi dapat ”nyambi” mencari uang saku melalui cerpen. Di sela-sela kuliah mereka dapat menghasilkan cerpen yang kemudian dikirim ke media massa, dan kalau dimuat akan mendapat uang saku. Dengan demikian, generasi muda ini tidak seratur persen bergantung pada orangtua mereka. Dengan kemandirian finansial seperti itu proses hidup sebagai ”parasit” bagi orang lain dapat sesegera mungkin diakhiri.
BEBERAPA HAL KUNCI DALAM MENULIS CERPEN
Peristiwa, Tokoh, Konflik
Narasi adalah cerita. Cerita didasarkan pada urutan kejadian atau peristiwa. Dalam kejadian-kejadian tersebut terdapat tokoh. Tokoh-tokoh tersebut menghadapi serangkaian konflik atau pertikaian. Tiga hal tersebutlah (urutan peristiwa, tokoh, dan konflik) yang merupakan unsur pokok sebuh narasi. Kesatuan dari urutan peristiwa, tokoh, dan konflik itulah yang sering disebut alur atau plot. arasi bisa berupa fakta, bisa pula berupa fiksi atau rekaan. Narasi yang berisi fakta antara lain biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri. Narasi yang berisi fiksi atau rekaan antara lain novel, cerita pendek, cerita bersambung, atau cerita bergambar. Plot atau alur dalam sebua narasi dapat berupa alur tunggal, dapat pula terdiri dari alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot.
Latar dan Warna
Alur cerita (kejadian, konflik, dan tokoh) tentu saja tidak terjadi dari kekosongan (vacuum). Pasti peristira tersebut terjadi pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Maka alur terikat pada latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dan latar waktu membutuhkan kekhususan dan ketajaman deskripsi yang menunjukkan pada pembaca bahwa waktu dan tempat kejadian tersebut benar-bena khas sehingga cerita tidak daat dipindahkan secara sembarangan karena kekhasan tersebut memberikan nilai tertentu. Inilah yang disebut sebagai warna lokal dalam cerita. Warna lokal ini diciptakan dengan memberikan deskripsi yang teliti tentang lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat, dialog tokoh-tokohnya yang mengandung dialek-dialek tertentu
Kerangka (Kisi-kisi Alur)
Kerangka atau kisi-kisi alur sangat penting untuk dibuat sebelum kita menulis cerpen. Kisi-kisi alur ini digunakan untk menjaga agar dalam cerita yang akan kita buat tidak terjadi anakronisme, yaitu peristiwa yang salah waktu dan tempatnya. Di samping itu, kisi-kisi ini juga berguna untuk mempertahankan cerita agar dalam pengembangannya cerita tetap terfokus pada konflik yang direncanakan, tidak melantur ke mana-mana. Posisi ”Kita”Dalam sebuah narase tentu saja ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. De fakto yang bercerita adalah penulis cerita itu. Penulis cerita dalam bercerita dapat mengambil posisi sebagai orang di luar cerita yang menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Atau, bisa pula penulis mengambil posisi seolah-olah ia berada di dalam cerita tersebut. Ia ikut menjadi salahsatu tokoh dalam cerita yang dibuatnya itu.Pengambilan posisi diri ini sangat mempengaruhi cerita yang akan dibuatnya. Maka, diperlukan pertimbangan matang untuk memilih gaya pertama, atau gaya kedua sehingga nantinya terdapat konsistensi dalam bercerita.
Percakapan (Dialog)
Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur seberapa besar porsi dialog dalam sebuah cerita. Artinya, boleh saja sebuah cerpen sejak awal sampai akhir isinya dialog antartokoh. Porsi deskripsi latar dan peristiwanya dibuat seminimal mungkin. Namun, boleh juga sebuah cerpen hanya terdiri dari deskripsi semua, tidak ada dialog sama sekali.Hanya, rasa-rasanya akan menjadi cerpen yang tidak enak dibaca ketika tidak terdapat keseimbangan antara dialog dan deskripsi latar.
LATIHAN MENULIS CERPEN
Latihan Menciptakan Tokoh
Saya ingin menciptakan sebuah cerpen yang menggambarkan pertentangan budaya antara budaya Batak, budaya Bali, dan budaya Jawa.
Buatlah nama-nama tokoh (minimal 2 tokoh sentral, ada tokoh andalan, dan ada beberapa tokoh lain) beserta penjelasan mengenai latar belakang kehidupan dan perwatakannya.
Buatlah rencana tempat kejadian dari cerita yang akan Anda buat beserta waktunya!
Buatlah pokok-pokok kejadian yang menggambarkan perkembangan konflik dari cerita yang akan Anda buat!
Entri ini dituliskan pada Mei 5, 2008 pada 12:06 pm dan disimpan dalam Uncategorized. . Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Respon ditutup, tapi Anda dapat lacak tautan dari situsmu sendiri. Ubah tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar